Kamis, 12 Agustus 2010

Instruktur Penyiksa

 

Di masa pendidikan inilah saya mengalami peristiwa yang luar biasa, yaitu mendapatkan instruktur yang sangat galak, banyak sekali yang gagal di tangan beliau. Dari enam orang teman sekamar, hanya tiga yang tersisa, belum terhitung teman yang lainnya, dan informasi yang saya terima, yang gagal di tangannya hampir sepuluh orang. Instruktur sering sekali mencubit paha anak didiknya bila melakukan kesalahan, meski cuma kesalahan kecil, bila dalam posisi terbang, saya duduk di sebelah kiri, jadi yang terkena cubitannya adalah paha kanan kami. Cubitan beliau itu pakai kuku, keras sekali, namun karena beban terbang yang begitu tinggi, kami kadang tak sempat merasakan sakitnya. Setelah selesai terbang dan warepack dibuka, paha kami sudah berdarah, daging yang dicubit itu menempel di celana. Setiap hari selalu begitu, luka yang belum kering, kembali berdarah keesokan harinya. Saya bertanya pada Allah, benarkah harus begini jalannya dan haruskah saya terus sabar? 

Suatu hari, saya akan terbang bersamanya, saya bilang pesawat sudah siap tetapi karena ada mur (baut) yang sudah longgar maka akan dikencangkan teknisi sebentar. beliau malah balik bertanya dengan keras “apa katamu?”, lalu menendang tulang kering saya dengan ujung sepatu tentaranya. Tiga kali ditanya, tiga kali pula tulang kering saya ditendang. Orang-orang disekeliling tidak bisa berbuat apa-apa, ada yang menatap saya karena kasihan tetapi juga banyak yang menahan tawa, karena ”mur” itu ternyata adalah nama panggilan Bapak instruktur “Moer”. Saat itu, saya ingin sekali membalasnya, saya merasa kesabaran sudah habis, harga diri diinjak-injak padahal tidak jelas apa kesalahannya. Namun, saya mengingat pesan orang tua bahwa selulus dari pendidikan, saya adalah tulang punggung keluarga, maka saya urungkanlah niat untuk menentangnya. 

Menjelang waktu asar, saya pulang ke asrama, langsung mandi dan sholat Asar. Saya bertanya pada Allah, “ya Allah…, apa seperti ini jalan yang harus dihadapi? padahal saya sudah berusaha dengan baik dengan cara yang sesuai dengan sunnah-Mu. Kini saya teraniaya oleh seseorang, tapi saya tidak ingin mendoakan keburukan untuknya. Saya hanya ingin beliau menyadari kesalahannya. Ya Allah, bila saya benar, apa yang harus dilakukan?” Seusai salat saya lanjutkan dengan dzikir dan membaca Alquran hingga menjelang maghrib. Saya terus berpikir apa yang harus dilakukan, berulang kali saya berdoa dan membaca ayat 80 surat al-Isra, dan ditengah kepasrahan itulah tiba-tiba mendapat inspirasi buat apa takut…! yang pantas ditakuti hanya Allah. 

Seusai menunaikan sholat sunnah ba’da isya, saya meminta tolong pada teman-teman di asrama untuk menjaga barang-barang saya. Saya akan pergi ke rumah Bapak instruktur, kalau selamat maka saya bisa pulang, tapi kalau terjadi sesuatu maka saya minta tolong agar barang-barang saya dijaga. Teman-teman heboh semua tetapi akhirnya mereka mendoakan saya. 

Saya melangkah tenang ke rumahnya, sesampainya di rumah Bapak instruktur, istrinya yang keluar menyambut. Istrinya bercerita, sejak pulang ke rumah, menjelang magrib, suaminya tidak bisa bangun, badannya panas menggigil, lemas, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam hati, saya berbisik, “Ya Allah, apa yang terjadi?” saya putuskan untuk menunggunya dan duduk di ruang tamu hingga hampir tiga puluh menit. Ketika itu pula saya merenung, satu pelajaran lagi menyelinap dalam hati, bisakah kita memaafkan orang yang telah menganiaya kita sedemikian berat, manakala ia dalam kondisi tak berdaya?.

Setelah tiga puluh menit Bapak instruktur kemudian keluar dan badannya dibungkus jaket tebal berwarna biru. beliau duduk di hadapan saya, namun sama sekali tidak mengangkat wajahnya, dan sepi menjeda di antara kami. Saya akhirnya membuka pembicaraan dan menjelaskan maksud kedatangan saya. Pertama-tama saya meminta maaf bila selama masa pendidikan, banyak berbuat kesalahan. Saya juga mengucapkan terima kasih atas bimbingannya selama ini, yang sebelumnya tidak mengerti apa-apa tentang terbang dan kini sudah bisa menerbangkan pesawat. Namun bila dinilai tidak mampu, saya ingin ganti instruktur untuk membuktikan apakah saya memang benar-benar tidak mampu. Bila diizinkan, besok saya akan mencari instruktur pengganti. 

Tidak ada tanggapan yang keluar dari mulut beliau. Beberapa saat, hening kembali menjeda, akhirnya Bapak instruktur bicara, “sudahlah kita lupakan saja peristiwa yang lalu.” Saya terkejut mendengar jawabannya. Saya bertanya, apa maksudnya? Beliau kembali menjawab, “iya, kita lupakan saja yang sudah lalu, besok kita kembali terbang.” Saya kembali menanyakan apa maksudnya sampai tiga kali, dia pun menjawab dengan jawaban yang sama. Akhirnya saya pikir mungkin itu keputusan yang terbaik dan saya pun pamit mohon diri. 

Dua hingga tiga hari berikutnya Bapak instruktur masih sakit. Setelah beliau pulih, saya kembali terbang dengannya, namun sejak hari itu sikapnya berbeda. beliau hanya diam dan sesekali memberikan arahan, tanpa menatap wajah saya, bahkan dia tidak menyentuh saya sedikitpun, hingga akhir pendidikan.