Kamis, 23 Desember 2010

Lafadz Allah Berbingkai Matahari

 

Saya bersyukur dalam kehidupan sebagai seorang pilot, merasakan penjagaan Allah sangat kuat. Di Melbourne, saya pernah mengalami kejadian yang aneh. Setelah mendarat, saya dijemput teman kemudian kami pun jalan-jalan dan makan bersama. Teman kemudian mengajak pergi ke tempat hiburan, saya mengiyakan saja dan tidak menyangka apa yang akan dilihat di tempat tersebut. Masuk ke ruangan pertama, saya masih tenang-tenang saja, hanya alunan musik yang menyambut kedatangan kami. Namun melangkah ke ruang selanjutnya, saya kaget bukan kepalang. Ternyata hiburan yang disajikan adalah tarian stripstis alias tarian telanjang!. Waduh, saya segera menyingkir ke ruangan belakang, memesan coca-cola dan duduk-duduk menunggu teman di sana. 

Ketika kami bermaksud kembali pulang, saya melewati lagi ruang tarian striptis itu. Tiba-tiba saya bersitatap dengan seorang perempuan/penari itu. Saya kaget sekali, mata perempuan itu berwarna merah, ada percikan warna biru seperti sinar laser. Saya langsung istighfar dan kembali ke hotel waktu itu kurang lebih pukul 24.00 waktu setempat. Saya sempatkan shalat malam sebelum tidur dan bertanya-tanya "makna apakah yang terlihat itu”. Setelah itu, saya terbang kembali ke Indonesia. Ketika pulang, saya kaget sekali mendapati anak saya sakit mata, matanya merah sekali persis seperti mata perempuan yang terlihat di Melbourne tadi. Saya membawanya ke dokter mata di RS Aini Kuningan tetapi dokter juga bingung melihat penyakit mata yang diderita anak saya. Saya kemudian teringat, apa ini adalah akibat kesalahan  telah pergi ke tempat penari stripstis itu? Mengingat itu semua, saya segera salat, memohon ampun pada Allah dan terus berdzikir. Setelah itu saya dekati anak saya dan saya usap matanya sambil terus berdzikir. Perlahan-lahan warna merah di mata anak saya menghilang. Subhanallah....!

Saya menyadari sekali, Allah berada di dekat kita dan kita akan selalu melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, bila kita mau meyakini. Salah satu peristiwa yang semakin menguatkan keyakinan terjadi pada bulan Ramadan di hari ke-23, saat itu saya tengah berjalan menuju masjid di pagi hari setelah salat tahajut dan sahur di rumah. Saya berjalan sambil melafazkan zikir “Subhanallah walhamdulillah wala ilaha illaallahu waAllahu Akbar” di setiap langkah, dari rumah ke masjid tersebut yang jaraknya 500 langkah. Ketika mendekati tangga masjid saya terbisik suara "lihatlah ke langit", tiba-tiba saya melihat seberkas cahaya melintas dari timur lalu menjadi sebuah cahaya besar yang menerangi di atas masjid. Cahaya itu terurai perlahan dan yang nampak di depan mata adalah lafaz Allah yang tersusun dari cahaya yang begitu indah, berbingkai garis yang berwarna keemasan. Subhanallah, ketakjuban seketika membahana di ruang hati dengan terasa dingin disekujur tubuh. Tetapi saya juga tak mungkin mengatakan pada orang lain apa yang terlihat ini, karena tidak membawa apapun untuk mendokumentasikannya. Saya berdoa, ”Ya Allah jika memang Engkau izinkan, biarkan aku menyampaikan kebesaran-Mu ini tapi bukti apa yang bisa kugunakan untuk menunjukkan kuasa-Mu ini?” 

Jawaban atas doa saya datang dua tahun kemudian. Hal itu terjadi saat terbang dari Jakarta ke Tokyo. Ketika itu, saya sedang berada pada ketinggian jelajah 41000 feet/kaki bersama rekan kerja, setelah salat subuh bergantian. Sambil berzikir saya menikmati sinar matahari yang baru saja muncul dari ufuk timur, sambil terus berdzikir beberapa ayat dari 7 surat Al-Quran. Iseng-iseng, saya mengabadikan tahap demi tahap terbitnya matahari itu dengan kamera. Mulai dari sinarnya baru menyembul sedikit, hingga setiap perubahannya, saya rekam. Ketika matahari itu dalam keadaan sangat bulat dan dzikir saya selesai, saya juga selesai memotret. Saya kemudian melihat-lihat kembali foto-foto hasil bidikan. Saya terkesiap ketika melihat ada perempuan sedang ruku/tunduk memakai mukena di foto matahari yang sudah bulat penuh dan tepat dititik tengah matahari itu. Cahayanya mengalahkan sinar matahari di belakangnya, saya jadi merinding “Subhanallah....” Itu sama dengan ayat yang saya baca tadi dalam surah al-A’raf ayat 54-56. Saya masukkan semua foto itu ke laptop. Gambar tadi saya zoom, saya semakin takjub, karena saya melihat lafadz Allah di bagian otak manusia dalam foto perempuan ruku' tadi, sementara matahari yang ada di belakangnya sebagai bingkai “Allahu Akbar....”

Kamis, 04 November 2010

Diterjang Badai Taifun


Saya juga pernah merasakan saat-saat maut seakan sudah sedemikian dekat, ketika itu tengah bertugas bersama seorang rekan menerbangkan pesawat berbadan lebar, yaitu Airbus A-330 yang memiliki kapasitas 300 penumpang, menuju Hongkong. Pesawat ini merupakan pesawat canggih seharga kurang lebih 1,2 triliun rupiah, dilengkapi dengan tiga buah sistem komputer navigasi yang berfungi untuk cross-check informasi agar menghasilkan data dan angka yang akurat. 

Saya masih ingat, peristiwa itu terjadi pada bulan Juni 1997, hampir pukul 11 pagi, pesawat raksasa tersebut mengangkasa. Ahli cuaca meramalkan akan terjadi Taifun Edward, sejenis angin topan beliung raksasa yang besar, lebih kurang 20 menit setelah pesawat tiba di Hongkong. Setelah memasuki wilayah Point of No return (PNR) pesawat memiliki altenatif memilih, yaitu pindah tujuan ke Manila atau melanjutkan perjalanan, sesuai dengan rencana menuju Hongkong. Karena airport tidak ditutup, maka keputusan yang kami ambil adalah meneruskan perjalanan menuju Hongkong. Ketika kami sedang turun/desend menuju holding point, ada Wx-info update yang menyatakan perubahan cuaca yang memburuk dengan cepat karena ujung depan taifun sudah mendekati Airport. Saat itu pesawat Cathay Pasific di depan kita yang sedang Approach (pendekatan mendarat) dapat landing dengan selamat. Karena clearence atau izin telah diberikan oleh airport Hongkong untuk melakukan approach. Maka ketika memasuki ketinggian 4500 feet untuk melakukan descent (menurunkan ketinggian) dengan IGS approach pesawat justru memasuki CB/cumulunimbus yang sangat keras goncangannya hingga bergetar seluruh isi pesawat. Supervisor kabin crew memberitahukan bahwa penumpang dalam keadaan ketakutan dan panik karena badan pesawat terguncang hebat oleh badai. 

Pesawat mencoba terus approach dan leaving 4500 (meninggalkan ketinggian dan turun dari 4500 feet). Radar berwarna ambar kemerahan, menandakan adanya badai hebat di depan pesawat. Pada ketinggian antara 3000-1500 feet itulah kaca depan cockpit merah bagai membara karena bergesekan dengan awan yang bermuatan gelombang elektromagnetik. Pesawat dihempas-hempas dengan keras. Pada saat approach mendekati minimum decission altitude, kurang lebih 675 feet, saat itulah keputusan harus dibuat; over shoot (naik kembali) atau landing. Sementara itu, pandangan seluruhnya terhalang oleh awan gelap, sehingga tidak terlihat apapun. Keputusan untuk landing masih dalam proses hingga kami dapat melihat dengan jelas tepat diatas DH/decition height. Ketegangan dalam cockpit terjadi. Apabila salah dalam mengambil keputusan, maka pesawat akan menabrak gunung yang ada di depan atau menghantam gedung-gedung bertingkat di sebelah kanannya. 

Saat itu keadaan sangat mencekam, saya merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali pasrah dan mengharap pertolongan dari Allah. Saat itu saya menundukkan hati dan berdoa; sepenuhnya menyerahkan hidup pada Allah. Saya berbisik, ”Laa hawlaa walaa quwwata illaa billah” (tiada kekuatan kecuali milik Allah). Tiba-tiba ada cahaya di atas saya yang sangat tajam menembus awan yang pekat hingga threshold runway. Maka saya langsung berteriak,  runway insight!” (landasan pacu terlihat). Rekan saya menjawab, ”negative!” (tidak terlihat). Saya kembali mengulangi, ”runway insight!”, rekan saya kembali menanggapi, ”negative”. Akhirnya rekan saya mengikuti petunjuk yang saya berikan. ”fly right!”(ke kanan), ”fly down” (ke bawah). Kemudian saya berkata lagi, ”on the glide” yang berarti pesawat masuk dalam sudut pendaratan. Barulah pada ketinggian 50 feet, rekan saya berkata, "runway insight". Pesawat  pun langsung landing. Pada saat itulah taifun edward berputar dan menggulung di ujung depan landasan. Pesawat seberat 170 ton itu berguncang-guncang dan seperti terangkat di landasan. Pada saat yang bersamaan, di seberang landasan, mobil-mobil berterbangan dan tercebur ke laut, dihempas oleh taifun edward yang dahsyat. Allahu Akbar...

Saya sangat bersyukur, Allah memberikan saya kesempatan hidup untuk beribadah dan memberikan petunjuk di saat yang paling kritis. Saya yakin, apa yang terlihat semata-mata adalah petunjuk dari Allah. Saya tidak akan melihat apapun bila Allah tidak berkenan/berkehendak untuk menolong kami. Semata-mata itu bukanlah suatu kebetulan. 

Saya yakin, bukan hanya saya yang punya pengalaman seperti ini. Setiap manusia pasti juga pernah mengalami kejadian-kejadian luar biasa dalam hidupnya. Namun kebanyakan manusia tidak sadar karena terkadang terbelit oleh rutinitas. Padahal segala aktivitas kita sesungguhnya harus dilakukan dengan kesadaran sebagaimana melaksanakan shalat. Terkadang manusia juga suka merasa imannya lemah, padahal bukan imanya yang lemah tetapi penghayatan terhadap apa yang dipraktekkan itulah yang belum teresapi. kadang kita hanya membaca ayat saja, meyakininya tetapi tidak teresapi dan terealisasi dalam kehidupan. 

Sebenarnya dalam kehidupan kita, lebih banyak hikmah dari kenormalan yang kita hadapi. Sayangnya tak banyak dari kita yang bisa mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa yang normal tersebut. Banyak orang yang merasa kenikmatan yang diberikan Allah itu biasa-biasa saja, karena sudah biasa merasakan kenikmatan tersebut. Seperti halnya kehidupan seorang pilot, kami sudah biasa terbang melintas di langit-Nya tetapi jarang sekali memahami bahwa melintasi langit-Nya adalah karunia, sekaligus keajaiban dari-Nya yang tak diberikan pada semua orang. Begitu pula dengan kenormalan lainnya, terkadang karena kita sudah terbiasa dengan hal tersebut, maka kita tidak lagi menganggapnya sebagai keajaiban dalam hidup kita. Padahal Allah pasti tidak akan memberikan sesuatu tanpa makna untuk kita. Setelah semua itu terlihat baik dengan mata telanjang maupun dengan mata hati, saya sungguh sangat bersyukur karena Allah telah mendidik dengan ilmu dan goresan peristiwa diri yang penuh dengan hikmah Al-Quran. Dan saya tersadar bahwa ternyata tempat beribadah dalam arti keseluruhan amalan adalah apa yang telah Allah berikan sekarang ini.

Suatu ketika saya di tanya oleh Bapak Ary Ginanjar Agustian "doa dan Amalan apa yang di lakukan"?, saya katakan "tidak tahu persis" mungkin karena saya selalu berusaha menjaga wudlu dan dzikir dalam hati dengan mengikuti setiap denyut nadi serta selalu mohon doa dari Ibunda tercinta.

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah seseorang kecuali dia berusaha merubah dirinya sendiri demi masa depannya. Dan Allah Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Semoga sebagian dari kisah nyata kami ini dapat memberikan manfaat pada seluruh pembaca yang sedang dan selalu ingin membaca dirinya sebagai subsistim dari alam ini yang sekaligus sebagai pemimpin/khalifah di muka bumi ini. Wallahu a’lam bishshawab.

Kamis, 12 Agustus 2010

Instruktur Penyiksa

 

Di masa pendidikan inilah saya mengalami peristiwa yang luar biasa, yaitu mendapatkan instruktur yang sangat galak, banyak sekali yang gagal di tangan beliau. Dari enam orang teman sekamar, hanya tiga yang tersisa, belum terhitung teman yang lainnya, dan informasi yang saya terima, yang gagal di tangannya hampir sepuluh orang. Instruktur sering sekali mencubit paha anak didiknya bila melakukan kesalahan, meski cuma kesalahan kecil, bila dalam posisi terbang, saya duduk di sebelah kiri, jadi yang terkena cubitannya adalah paha kanan kami. Cubitan beliau itu pakai kuku, keras sekali, namun karena beban terbang yang begitu tinggi, kami kadang tak sempat merasakan sakitnya. Setelah selesai terbang dan warepack dibuka, paha kami sudah berdarah, daging yang dicubit itu menempel di celana. Setiap hari selalu begitu, luka yang belum kering, kembali berdarah keesokan harinya. Saya bertanya pada Allah, benarkah harus begini jalannya dan haruskah saya terus sabar? 

Suatu hari, saya akan terbang bersamanya, saya bilang pesawat sudah siap tetapi karena ada mur (baut) yang sudah longgar maka akan dikencangkan teknisi sebentar. beliau malah balik bertanya dengan keras “apa katamu?”, lalu menendang tulang kering saya dengan ujung sepatu tentaranya. Tiga kali ditanya, tiga kali pula tulang kering saya ditendang. Orang-orang disekeliling tidak bisa berbuat apa-apa, ada yang menatap saya karena kasihan tetapi juga banyak yang menahan tawa, karena ”mur” itu ternyata adalah nama panggilan Bapak instruktur “Moer”. Saat itu, saya ingin sekali membalasnya, saya merasa kesabaran sudah habis, harga diri diinjak-injak padahal tidak jelas apa kesalahannya. Namun, saya mengingat pesan orang tua bahwa selulus dari pendidikan, saya adalah tulang punggung keluarga, maka saya urungkanlah niat untuk menentangnya. 

Menjelang waktu asar, saya pulang ke asrama, langsung mandi dan sholat Asar. Saya bertanya pada Allah, “ya Allah…, apa seperti ini jalan yang harus dihadapi? padahal saya sudah berusaha dengan baik dengan cara yang sesuai dengan sunnah-Mu. Kini saya teraniaya oleh seseorang, tapi saya tidak ingin mendoakan keburukan untuknya. Saya hanya ingin beliau menyadari kesalahannya. Ya Allah, bila saya benar, apa yang harus dilakukan?” Seusai salat saya lanjutkan dengan dzikir dan membaca Alquran hingga menjelang maghrib. Saya terus berpikir apa yang harus dilakukan, berulang kali saya berdoa dan membaca ayat 80 surat al-Isra, dan ditengah kepasrahan itulah tiba-tiba mendapat inspirasi buat apa takut…! yang pantas ditakuti hanya Allah. 

Seusai menunaikan sholat sunnah ba’da isya, saya meminta tolong pada teman-teman di asrama untuk menjaga barang-barang saya. Saya akan pergi ke rumah Bapak instruktur, kalau selamat maka saya bisa pulang, tapi kalau terjadi sesuatu maka saya minta tolong agar barang-barang saya dijaga. Teman-teman heboh semua tetapi akhirnya mereka mendoakan saya. 

Saya melangkah tenang ke rumahnya, sesampainya di rumah Bapak instruktur, istrinya yang keluar menyambut. Istrinya bercerita, sejak pulang ke rumah, menjelang magrib, suaminya tidak bisa bangun, badannya panas menggigil, lemas, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam hati, saya berbisik, “Ya Allah, apa yang terjadi?” saya putuskan untuk menunggunya dan duduk di ruang tamu hingga hampir tiga puluh menit. Ketika itu pula saya merenung, satu pelajaran lagi menyelinap dalam hati, bisakah kita memaafkan orang yang telah menganiaya kita sedemikian berat, manakala ia dalam kondisi tak berdaya?.

Setelah tiga puluh menit Bapak instruktur kemudian keluar dan badannya dibungkus jaket tebal berwarna biru. beliau duduk di hadapan saya, namun sama sekali tidak mengangkat wajahnya, dan sepi menjeda di antara kami. Saya akhirnya membuka pembicaraan dan menjelaskan maksud kedatangan saya. Pertama-tama saya meminta maaf bila selama masa pendidikan, banyak berbuat kesalahan. Saya juga mengucapkan terima kasih atas bimbingannya selama ini, yang sebelumnya tidak mengerti apa-apa tentang terbang dan kini sudah bisa menerbangkan pesawat. Namun bila dinilai tidak mampu, saya ingin ganti instruktur untuk membuktikan apakah saya memang benar-benar tidak mampu. Bila diizinkan, besok saya akan mencari instruktur pengganti. 

Tidak ada tanggapan yang keluar dari mulut beliau. Beberapa saat, hening kembali menjeda, akhirnya Bapak instruktur bicara, “sudahlah kita lupakan saja peristiwa yang lalu.” Saya terkejut mendengar jawabannya. Saya bertanya, apa maksudnya? Beliau kembali menjawab, “iya, kita lupakan saja yang sudah lalu, besok kita kembali terbang.” Saya kembali menanyakan apa maksudnya sampai tiga kali, dia pun menjawab dengan jawaban yang sama. Akhirnya saya pikir mungkin itu keputusan yang terbaik dan saya pun pamit mohon diri. 

Dua hingga tiga hari berikutnya Bapak instruktur masih sakit. Setelah beliau pulih, saya kembali terbang dengannya, namun sejak hari itu sikapnya berbeda. beliau hanya diam dan sesekali memberikan arahan, tanpa menatap wajah saya, bahkan dia tidak menyentuh saya sedikitpun, hingga akhir pendidikan.